Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa
Indonesia di lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara umum,
Fungsi Wawasan Nusantara adalah pedoman, motivasi, dorongan serta rambu-rambu
dalam menentukan segala kebijaksanaan , keputusan, dan perbuatan baik bagi
penyelenggara Negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat dalm
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara umum, Tujuan Wawasan Nusantara adalah
mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala bidang dari rakyat Indonesia,
yang telah lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan orang
per orangan, kelompok, golongan, suku bangsa/daerah. Sebagai negara kepulauan
dengan masyarakatnya yang berbhineka, negara Indonesia memiliki unsur – unsur
kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan
geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara
kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang
harus disatukan dalam satu bangsa, satu negara dan satu tanah air.
Dalam kehidupannya, bangsa Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh interaksidan interelasi dengan lingkungan sekitarnya (regional
atau internasional). Dalam hal ini bangsa Indonesia memerlukan prinsip –
prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang – ambing dalam
memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita – cita serta tujuan
nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia wawasan nasional yang berpijak
pada wujud wilayah nusantara sehingga disebut WAWASAN NUSANTARA. Karena hanya
dengan upanya inilah bangsa dan negara Indonesia tetap eksis dan dapat melanjutkan
perjuangan menuju mayarakat yang adil, makmur dan sentosa.
Wawasan Nusantara juga merupakan sebuah alat yang
menyatukan semua kepulauan yang ada di Indonesia. Sebagai kita ketahui bahwa
bangsa Indonenesia terdiri dari beberapa pulau, dan untuk menyatukannya
bukanlah suatu tindakan yang mudah. Setelah Deklarasi Djuanda itu terjadi yang
sudah melahirkan konsep Wawasan Nusantara, laut Nusantara bukan lagi sebgai
pemisah akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai
wilayah kedaulatan yang mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah wilayah
perairan mempunyai banyak celah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh negara
lain yang pada akhirnya dapat meruntuhkan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi
bangsa Indonesia. Indonesia yang memiliki banyak pulau memerlukan pengawasan
yang cukup ketat. Dimana pengawasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pihak
TNI/Polri saja tetapi semua lapisan masyarakat Indonesia. Bila hanya
mengandalkan TNI/Polri saja yang persenjataannya kurang lengkap mungkin bangsa
Indonesia sudah tercabik – cabik oleh bangsa lain.
Kasus Sipadan dan Ligitan yang kini telah menjadi
milik Malaysia, menjadi bukti lemahnya bangsa Indonesia memahami konsep Wawasan
Nusantara. Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin hari semakin
berat, maka penerapan dan pemahaman konsep wawasan nusantara sebagai landasan
visional mutlak perlu ditanamkan kembali dalan tatanan kehidupan masyarakat
Indonesia. Euforia reformasi telah menghilangkan arah dalam pembangunan yang
merata dan adil, karena hilangnya arah visional pembangunan bangsa. Era
desentralisasi dan globalisasi saat ini, menjadi tantangan dan peluang bagi
bangsa Indonesia, untuk terus bertahan dan menjaga keutuhannya.Tantangan globalisai
yang semakin besar akan merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Apabila tidak memiliki arah pandangan hidup yang kuat. Pemahaman yang kuat
tentang konsep wawasan nusantara dapat menjadi banteng dalam mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adannya wawasan nusantara kita dapat mempererat
rasa persatuan di antara penduduk Indonesia yang saling
berbhineka tunggal ika.Dalam era Reformasi ini, Wawasan
Nusantara semakin kabur dalam pemahaman bangsa Indonesia. Peranan wawasan
nusantara sebagai landasan visional semakin berkurang penerapannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik-konflik internal dan eksternal yang
terjadi saat ini yang tidak mampu diselesaikan dengan baik disebabkan rapuhnya
landasan visional bangsa Indonesia.
Kasus
Wawasan Nasional Bangsa Indonesia
Krisis
Multidimensional Indonesia
Krisis nilai tukar yang dialami oleh
bangsa Indonesia pada periode Juni 1998, telah
membawa akibat yang sungguh diluar perkiraan siapapun, bahkan tak
pula prediksi para ahli. Krisis tersebut, pada kisah lanjutannya berkembang
dan meluas mencapai krisis multidimensional; ekonomi, politik, sosial,
budaya dan kemudian: identitas bangsa.
Kemudian krisis ekonomi yang ditandai kesulitan memperoleh bahan
pokok dan kesempatan kerja (sebagai akibat banyaknya perusahaan yang harus
gulung tikar dikarenakan krisis hutang akibat depresiasi rupiah yang amat tajam
dan mendadak), yang kemudian menjadi pemicu timbulnya gerakan mahasiswa yang
muncul bagaikan ribuan semut . Gerakan mahasiswa itu, kemudian mampu untuk
menciptakan kesadaran kolektif komponen bangsa yang lain, untuk menyadari
bahwa upaya mengatasi krisis ekonomi, haruslah diawali dengan reformasi di dalam
bidang politik.
Reformasi politik, yang semula diarahkan pada pembersihan pemerintahan dari
korupsi, kolusi dan nepotisme yang kemudian diakronimkan menjadi “KKN”,
ternyata tidak mendapat sambutan yang positif dari pemerintahan Presiden Soeharto
yang ketika itu berkuasa. Akibatnya, kekecewaan timbul sebab ketidak-responsif-an
pemerintah, malah membawa tuntutan yang sifatnya lebih mendesak; yakni
perlunya pergantian pimpinan pemerintahan dari Presiden Soeharto.
Gerakan mahasiswa, yang menggulirkan tuntutan pergantian pimpinan nasional
itu, akhirnya mampu untuk memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri, pada
tanggal 21 Mei 1998. Ketika itu, ratusan ribu mahasiswa menduduki Gedung
MPR/DPR untuk menyatakan tuntutannya.
Ternyata, pergantian pimpinan nasional tersebut, melahirkan suasana politik
yang hiruk pikuk. Tiba-tiba, semua orang ingin bicara dan didengar suaranya.
Termasuk dari mereka yang selama ini dikenal sebagai pendukung setia rejim
masa lalu. Akibatnya banyak “bunglon politik” yang ikut bermain dalam kancah
politik Indonesia. Bermacam isu pula menjadi sasaran untuk dihembuskan pada
masyarakat. Diantara sekian banyak isu itu adalah tuntutan desentralisasi
kekuasaan dan pembagian keuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan
daerah. Dengan berbagai cara tuntutan itu dimunculkan. Dalam kasus terakhir
di Aceh, bahkan sampai menggelar “SU MPR” (Sidang Umum Masyarakat Pejuang
Referendum) Aceh, sebagai media pengungkapan tuntutan masyarakat Aceh.
Khusus untuk hal itu, beragam ide yang ditawarkan sebagai solusi pun muncul,
dari sekadar menuntut pembagian keuangan yang lebih adil, tuntutan otonomi
yang lebih luas, tuntutan federalisasi, sampai ke tuntutan kemerdekaan.
Permasalahan Pusat dan Daerah
membawa akibat yang sungguh diluar perkiraan siapapun, bahkan tak
pula prediksi para ahli. Krisis tersebut, pada kisah lanjutannya berkembang
dan meluas mencapai krisis multidimensional; ekonomi, politik, sosial,
budaya dan kemudian: identitas bangsa.
Kemudian krisis ekonomi yang ditandai kesulitan memperoleh bahan
pokok dan kesempatan kerja (sebagai akibat banyaknya perusahaan yang harus
gulung tikar dikarenakan krisis hutang akibat depresiasi rupiah yang amat tajam
dan mendadak), yang kemudian menjadi pemicu timbulnya gerakan mahasiswa yang
muncul bagaikan ribuan semut . Gerakan mahasiswa itu, kemudian mampu untuk
menciptakan kesadaran kolektif komponen bangsa yang lain, untuk menyadari
bahwa upaya mengatasi krisis ekonomi, haruslah diawali dengan reformasi di dalam
bidang politik.
Reformasi politik, yang semula diarahkan pada pembersihan pemerintahan dari
korupsi, kolusi dan nepotisme yang kemudian diakronimkan menjadi “KKN”,
ternyata tidak mendapat sambutan yang positif dari pemerintahan Presiden Soeharto
yang ketika itu berkuasa. Akibatnya, kekecewaan timbul sebab ketidak-responsif-an
pemerintah, malah membawa tuntutan yang sifatnya lebih mendesak; yakni
perlunya pergantian pimpinan pemerintahan dari Presiden Soeharto.
Gerakan mahasiswa, yang menggulirkan tuntutan pergantian pimpinan nasional
itu, akhirnya mampu untuk memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri, pada
tanggal 21 Mei 1998. Ketika itu, ratusan ribu mahasiswa menduduki Gedung
MPR/DPR untuk menyatakan tuntutannya.
Ternyata, pergantian pimpinan nasional tersebut, melahirkan suasana politik
yang hiruk pikuk. Tiba-tiba, semua orang ingin bicara dan didengar suaranya.
Termasuk dari mereka yang selama ini dikenal sebagai pendukung setia rejim
masa lalu. Akibatnya banyak “bunglon politik” yang ikut bermain dalam kancah
politik Indonesia. Bermacam isu pula menjadi sasaran untuk dihembuskan pada
masyarakat. Diantara sekian banyak isu itu adalah tuntutan desentralisasi
kekuasaan dan pembagian keuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan
daerah. Dengan berbagai cara tuntutan itu dimunculkan. Dalam kasus terakhir
di Aceh, bahkan sampai menggelar “SU MPR” (Sidang Umum Masyarakat Pejuang
Referendum) Aceh, sebagai media pengungkapan tuntutan masyarakat Aceh.
Khusus untuk hal itu, beragam ide yang ditawarkan sebagai solusi pun muncul,
dari sekadar menuntut pembagian keuangan yang lebih adil, tuntutan otonomi
yang lebih luas, tuntutan federalisasi, sampai ke tuntutan kemerdekaan.
Permasalahan Pusat dan Daerah
Pada dasarnya, permasalahan pusat
dan daerah tersebut berdasar pada 3 pokok
permasalahan:
permasalahan:
- Permasalahan kekuasaan yang sentralistis. Pemerintahan Orde Baru, dianggap sangat sentralistis dalam menjalankan kekuasaan. Banyak hal yang ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah dipandang seakan-akan hanya sebagai “perpanjangan tangan” pemerintah pusat. Akibatnya, aspirasi daerah ditutup dengan mengedepankan justifikasi “stabilitas dan kepentingan nasional”. Hal ini menimbulkan perasaan dehumanisasi pada masyarakat di daerah.
- Permasalahan pembagian keuangan. Dalam menjalankan kebijakan ekonomi, pemerintah pusat selama Orde Baru juga sangat sentralistis. Sebagian besar hasil-hasil yang didapat daerah, harus diserahkan kepada pemerintah pusat. Dalam kasus Aceh misalnya, pada tahun anggaran 1998/999, 91,59% hasil-hasil daerah diserahkan kepada pusat. Dengan demikian berarti daerah (Aceh) hanya mendapat “tetesan” 8,41% dari hasil buminya sendiri. Fenomena itu, bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di tempat-tempat lain Indonesia. Praktik pemerintahan seperti itu, menimbulkan perasaan bahwa daerah seakan hanyalah “sapi perahan” dari pemerintah pusat. Meskipun kenyataannya pemerintah pusat memberikan “subsidi daerah otonom” (SDO) pada setiap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi paradigma yang berlaku bahwa SDO tersebut adalah “kebaikan hati” pemerintah pusat kepada daerah. Padahal, dana untuk SDO tersebut, sebagian didapatkan dari daerah juga.
- Permasalahan budaya. Pemerintah Orde Baru mengedepankan wawasan “budaya nasional”. Meskipun dipropagandakan bahwa budaya daerah adalah kekayaan budaya nasional, namun dalam praktiknya sering terjadi marjinalisasi terhadap budaya daerah. Padahal, kendati sebagai negara kesatuan, Indonesia terdiri dari ribuan budaya dari bermacam suku-suku bangsa. Bahkan, dari satu suku bangsa, terdapat sub-sub kultur yang berbeda. Perbedaan budaya tersebut membawa konsekuensi pada perbedaan atau keragamam paradigma dalam menjalankan kekuasaan dan implementasi kebijakan. Kondisi itu, seakan diabaikan dan dianggap tidak begitu penting. Bahkan dalam banyak kasus, terjadi penyeragaman praktik budaya. Hal itu, menimbulkan resistensi yang mendasar, karena budaya sesungguhnya tetap hidup dalam bawah sadar manusia, tidak dapat dihilangkan dengan upaya penyeragaman.
Tuntutan
Daerah
Permasalahan Pusat dan Daerah seperti diuraikan diatas, terjadi selama
puluhan tahun. Pada kurun waktu tersebut, perasaan kecewa atas permasalahan
itu, dapat ditekan dan ditutup-tutupi dengan perilaku represif dari penguasa
waktu itu. Bahkan, pada daerah-daerah dengan tingkat resistensi yang tinggi,
pemerintah pusat harus pula melakukan operasi-operasi militer yang
mengakibatkan banyak tindakan-tindakan kekerasan yang dianggap melanggar hak
asasi manusia (HAM). Sehingga, permasalahan pusat dan daerah seperti
disebutkan diatas, semakin bertambah rumit dan membawa luka-luka yang cukup
mendalam pada daerah.
Akibatnya, ketika terjadi pucuk pimpinan kekuasaan, luka-luka dan kekecewaan
yang dipendam dan ditutup-tutupi selama puluhan tahun itupun meluap. Bahkan,
kemudian meledak dan melahirkan konflik-konflik horizontal (seperti yang
terjadi di Maluku) dan vertikal (seperti terjadi di Aceh, Riau dan Irian
Jaya). Tuntutan daerah itu muncul secara bersamaan karena dianggap bahwa
setelah puluhan tahun mengalami represi, maka kinilah saatnya harus
bersuara. Sejarah hitam pergumulan pusat dan daerah itu, telah terjadi pada
kasus Timor-Timur, propinsi ke-27 Republik Indonesia, yang harus berpisah
karena kalahnya tawaran otonomi pemerintah pusat dalam jajak pendapat. Hal
itu, adalah satu contoh kasus yang nyata, bagaimana perilaku sentralistis
dan upaya-upaya represif yang menyertainya, ternyata dalam jangka panjang
tidak membuahkan hasil apa-apa, dan bahkan menambah rumit persoalan yang
sebenarnya sederhana. Akibatnya, solusi permasalahannya pun semakin
kompleks.
puluhan tahun. Pada kurun waktu tersebut, perasaan kecewa atas permasalahan
itu, dapat ditekan dan ditutup-tutupi dengan perilaku represif dari penguasa
waktu itu. Bahkan, pada daerah-daerah dengan tingkat resistensi yang tinggi,
pemerintah pusat harus pula melakukan operasi-operasi militer yang
mengakibatkan banyak tindakan-tindakan kekerasan yang dianggap melanggar hak
asasi manusia (HAM). Sehingga, permasalahan pusat dan daerah seperti
disebutkan diatas, semakin bertambah rumit dan membawa luka-luka yang cukup
mendalam pada daerah.
Akibatnya, ketika terjadi pucuk pimpinan kekuasaan, luka-luka dan kekecewaan
yang dipendam dan ditutup-tutupi selama puluhan tahun itupun meluap. Bahkan,
kemudian meledak dan melahirkan konflik-konflik horizontal (seperti yang
terjadi di Maluku) dan vertikal (seperti terjadi di Aceh, Riau dan Irian
Jaya). Tuntutan daerah itu muncul secara bersamaan karena dianggap bahwa
setelah puluhan tahun mengalami represi, maka kinilah saatnya harus
bersuara. Sejarah hitam pergumulan pusat dan daerah itu, telah terjadi pada
kasus Timor-Timur, propinsi ke-27 Republik Indonesia, yang harus berpisah
karena kalahnya tawaran otonomi pemerintah pusat dalam jajak pendapat. Hal
itu, adalah satu contoh kasus yang nyata, bagaimana perilaku sentralistis
dan upaya-upaya represif yang menyertainya, ternyata dalam jangka panjang
tidak membuahkan hasil apa-apa, dan bahkan menambah rumit persoalan yang
sebenarnya sederhana. Akibatnya, solusi permasalahannya pun semakin
kompleks.