Kamis, 09 Mei 2013

ketahanan Pangan Nasional


Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dakam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politil dan sosial. Oleh sebab itu, ketahanan pangan merupakan program utama dalam pembangunan pertanian saat ini dan masa mendatang.

  1. Ketahanan pangan sendiri menurut literatur memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi diantaranya : Berorientasi pada rumah tangga dan individu, 
  2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses,
  3. Menekankan pada akses pangan tumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial,
  4. Berorientasi pada pemenuhan gizi,
  5. Ditujukan untuk sehat dan produktif.
Salah satu target yang akan dicapai kementrian pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan melakukan swasembada beras. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Penduduk Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 241 juta jiwa .
Pada tahun 2011, data BPS menunjukan bahwa tingkat komsumsi beras mencapai 139kg/kapita lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65kg/kapita pertahun. Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun 1950 semakin tidak tergantikan meski roda energi diversifikasi komsumsi sudah lama digulirkan, hal ini terlihat bahwa pada tahun 1950 komsumsi beras nasional sebagai sumber karbihidrat baru sekitar 53% bandingkan dengan tahun 2011 yang telah mencapai sekitar 95%. Dalam rencana strategis Kementrian Pertanian menempatkan beras sebagai satu dari lima komoditas pangan utama. Kmentrian Pertanian menargetkan pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan atas tanaman pangan pada tahun 2010-2014 yakni padi,jagung,kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar karena padi sudah pada posisi swasembada mulai 2007, maka target pencapaian selama 2010-1013 adalah swasembada berkelanjutan dengan sasaran produksii padi sebesar 75,7 juta ton Gabah Kering Giling.
Terkait dengan swasembada beras capaian produksi komoditas pertanian selama tahun 2005-2009 telah menunjukan prestasi sangat baik, antara lain: 

peningkatan produksi padi dari 57,16 juta ton tahun 2007 menjadi 60,33 juta ton pada tahun 2008, atau meningkat 3,69 %, sehingga terjadi surplus 3,17 juta ton GKG, dan mendorong beberapa perusahaan untuk mengekspor beras kelas premium. Target produksi padi 2009 sebesar 63,5 juta ton, sementara berdasarkan ARAM III (Juni 2009) produksi padi telah mencapai 63,8 juta ton atau mencapai 100,5 % dari target tahun 2009.
Peningkatan produksi ini telah menempatkan Indonesia meraih kembali statusswasembada beras sejak tahun 2007. Pada tahun 2011, APBN untuk Kementerian Pertanian ditetapkan sebanyak Rp17,6 triliun naik cukup signifikan dibanding pada tahun 2009 sebesar Rp8,2 triliun.Jumlah itu, menurut Menteri Pertanian Suswono, belum berdampak pada peningkatan produktivitas. Hal tersebut dikarenakan periode 2010-2014 ini sektor pertanian bergerak stagnan. Pertumbuhan produksi pangan pokok masyarakat Indonesia ini tak lebih dari 3%. Produksi tanaman pangan padi lebih rendah dari target yang ditetapkan yakni hanya mencapai 65,39 juta ton GKG di banding yang ditargetkan yakni sebanyak 70,06 juta ton GKG. Kinerja Kementrian Pertanian terkait dengan pelaksanaan program Ketahanan Pangan dipertanyakan selama tahun 2011, dimana pada semester 1. Prof Dr Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA, Ekonom INDEF-Jakarta mengatakan, dengan metode estimasi yang digunakan Pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki “surplus beras” sekitar 6 juta ton. Produksi padi sampai 1 Juli 2011 diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering giling (GKG) (atau setara 39,2 juta ton beras dengan laju konversi 0,57. Konsumsi beras 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton, sehingga ”selisih” produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton. Meski secara hitungan matematis dan ramalan Indonesia mengalami surplus beras namun disisi lain Badan Pusat Statistik mencatat sejak januari hingga Agustus 2011 Bulog sebagai badan stabilisator telah melakukan impor beras dengan jumlah impor beras yang masuk ke Indoensia mencapai 1,62 juta ton dengan nilai US$ 861,23 juta. Impor tertinggi pada periode Januari hingga Agustus 2011 berasal dari vietnam yang mencapai 905.930 ton atau 55,83%. Kebijakan ini menuai kritik dari beberapa kalangan termasuk sejumlah ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menyebutkan bahwa kebijakan ini anomali, karena pemerintah dalam hal ini BULOG melakukan impor beras disaat terjadi panen raya (surplus beras).Ketua Komisi IV DPR Rohmahurmuziy mengatakan terjadi ketidaksingkronan data produski dan konsumsi yang dimiliki masing-masing stakeholders pengambil keputusan dengan kebijakan perberasan nasional. Atas ketidaksingkronan kebijakan ini Ketua Komisi IV DPR Rohmahurmuziy, meminta untuk dilakukan audit.Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan pemeriksaan eksternal Pemerintah berdasarkan Peraturan BPK No. 1 tahun 1997 memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dimana jenis pemeriksaan yang dilakukan salahsatunya adalah Pemeriksaan Kinerja. Pemeriksaan kinerja dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan program yang dibiayai dengan keuangan negara, tingkat kepatuhannya terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta untuk mengetahui tingkat kehematan, efisiensi, dan efektivitas dari program tersebut.

II. PENGERTIAN 

Pengertian Ketahanan Pangan
Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai : kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup; dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif.
Pada tingkat nasional, ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; dan didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal.
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003)
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
kecukupan ketersediaan pangan;
stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
kualitas/keamanan pangan
Menurut Bustanul Arifin (2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah.
Sejak tahun 1798 ketika Thomas Malthus memberi peringatan bahwa jumlah manusia meningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika. Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan lokal yang kadang-kadang meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah diberbagai Negara. Permasalahan diatas adalah cirri sebuah Negara yang belum mandiri dalam hal ketahanan pangan (Nasoetion, 2008)
Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini dipandang strategis karena tidak ada negara yang mampu membangun perekonomian tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah pangannya. Di Indonesia, sektor pangan merupakan sektor penentu tingkat kesejahteraan karena sebagian besar penduduk yang bekerja on-farm untuk yang berada di daerah pedesaan dan untuk di daerah perkotaan, masih banyak juga penduduk yang menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi. Memperhatikan hal tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat mutlak bagi ketahanan nasional. Salah satu langkah strategis untuk untuk memelihara ketahanan nasional adalah melalui upaya mewujudkan kemandirian pangan. Secara konsepsional, kemandirian adalah suatu kondisi tidak terdapat ketergantungan pada siapapun dan tidak ada satu pihakpun yang dapat mendikte atau memerintah dalam hal yang berkaitan dengan pangan.
Pemberdayaan Petani dalam Rangka Pemantapan Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu sekali peranan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan petani.
Kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan nasional. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :

  1. Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor) , dalam hal ini keterbatasan sumber daya manusia yang ada (rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki petani pada umumnya) menjadi masalah yang cukup rumit, disisi lain kemiskinan yang structural menjadikan akses petani terhadap pendidikan sangat minim.
  2. Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Pada umumnya petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar, jika dilihat dari sisi produksi tentu saja dengan luas tanah semacam ini tidak dapat di gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bagi petani.
  3. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan , ketersediaan modal perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah pada umumnya permasalahan yang paling mendasar yang dialami oleh petani adalah keterbatasan modal baik balam penyediaan pupuk atau benih.
  4. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik. Petani di Indonesia kebanyakan masih mengolah tanah dengan cara tradisional hanya sebagian kecil saja yang sudah menggunakan teknologi canggih. Tentu saja dari hasil produksinya sangat terbatas dan tidak bisa maksimal.
  5. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai. Pertanian di Indonesia mayoritas masih berada di wilayah pedesaan sehingga akses untuk mendapatkan sarana dan prasarana penunjang seperti air, listrik , kondisi jalan yang bagus dan telekomunikasi sangat terbatas.
  6. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi tawar petani (bargaining position) yang sangat lemah .
  7. Ketidakmampuan, kelemahan, atau ketidaktahuan petani sendiri.
Tanpa penyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai. Maka disinilah peranan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah harus dijadikan sebagai perhatian utama demi terwujudnya ketahanan pangan karena ketahanan pangan dapat terwujud dengan baik jika pengelolaanya dikelola mulai dari tataran mikro (mulai dari rumah tangga), jika akses masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pangan sudah baik maka ketahanan pangan di tataran makro sudah pasti secara otomatis akan dapat terwujud.
Dapat kita lihat sampai sekarang ini program pemerintah dalam kaitanya dengan pembangunan ketahanan pangan masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, pembangunan ketahanan pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro saja pemenuhan pangan pada tingkatan unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan. Untuk mengatasi hal itu semua ada berbagai upaya pemberdayaan untuk peningkatan kemandirian masyarakat khususnya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui :
Pertama, pemberdayaan dalam pengembangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Hal ini dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti. Teknologi yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan dalam kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan para peneliti.  Teknologi tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di lapangan, sedangkan penguasaan teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan dan penelitian. Dengan cara tersebut diharapkan akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan usahatani dan kesejahteraan petani.
Kedua, penyediaan fasilitas kepada masyarakat hendaknya tidak terbatas pengadaan sarana produksi, tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain.
Dengan tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para petani dapat berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil dengan harga yang menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan petani juga timbul kegairahan dalam mengembangkan usahatani.
Ketiga, Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal dan peningkatan spesifik berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera masyarakat yang dinamis.
Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat yang sangat urgen dilakukan sekarang adalah pengembnagan lumbung pangan, agar mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan. Untuk itu diperlukan upaya pembenahan lumbung pangan yangb tidak hanya dakam arti fisik lumbung, tetapi juga pengelolaannya agar mampu menjadi lembaga penggerak perekonomian di pedesaan.
Pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani seperti diuraikan diatas, hanya dapat dilakukan dengan mensinergikan semua unsur terkait dengan pembangunan pertanian. Untuk koordinasi antara instansi pemerintah dan masyarakat intensinya perlu ditingkatkan.